Thursday, January 20, 2011

Sambil online mikirin gayus..

Gayus Tambunan, pria tambun asal batak ini sudah sangat terkenal. Namun sayang, keterkenalannya berbau pesing, beraroma tikus got kudisan yang terkena pes. Persis seperti saran teman saya dulu "kalo pengen terkenal kencingan aja tuh ka'bah atau air zam-zam". Gayus telah mengencingi kita semua. Dia mengencingi rasa keadilan karena pendapatannya sebagai pegawai Depkeu yang sudah tinggi, mengencingi sistem hukum kita, mengencingi aparat kepolisian, jaksa dan para politisi. Bahkan juga presiden kita barangkali juga merasa dikencingi dan dikentuti.
Gayus yang selalu mengumbar senyum dan lelucon itu rupanya sedikit sekali bahkan mungkin tidak punya rasa bersalah. Apakah ini bawaan orok atau dibentuk oleh budaya dan lingkungan kita atau karena dia menyaksikan sendiri dan telah bekerja sama dengan sekian banyak aparat pemerintah yang korup, dan amat sedikit yang tersentuh hukum? Yang pasti, saya selalu kesal melihat wajahnya dan mengingat sekian banyak orang yang berkelakuan sama dengannya. Atau mungkin juga saya, toh hal seperti ini kadang hanya persoalan kesempatan saja dan kita jadi dongkol karena punya kesempatan yang berbeda.
Banyak sekali orang yang bergaji pas2an seperti saya bahkan kurang -dari pas2an karena minus terus. Dan tentu lebih banyak lagi dari kalangan rakyat yang lebih jelata. Lebih jelata maksudnya yang pendidikannya kurang, pekerjaan abal2, penghasilan sekedar ada untuk membeli energi biar besok kembali bekerja. Mirip2 romusa. ADa lagi yang tidak punya pekerjaan sama sekali bahkan yang gajinya hanya untuk makan saja. Dan sudah tentu yang tidak bisa bekerja bakalan luntang-lantung sia2. Maka tak heran pengamen dan pengemis bertambah banyak.
Kita dongkol, masygul, seperti putus asa melihat situasi ini. Sumpah serapah jadi hal yang biasa kita ucapkan melihat adegan demi adegan yang sepertinya ingin melecehkan kita sebagai bangsa yang berhukum dan berdaulat. Banyak orang yang bisa kita harapkan akan bisa berbuat banyak untuk mengendalikan situasi karena toh sebenarnya hanyalah seorang Gayus; pegawai pajak golongan III-a. Masih dibawah saya. Mungkin cukup kepolisian saja akan musnah tuntas kiranya kiprah gayus ini. Tapi ternyata Gayus menyeret2 orang2 di korps bhayangkara ini bagaikan air bah, semacam longsor yang menggulung markas besar itu sehingga nyaris tidak bisa bersuara.
Masih ada satu lagi; Satgas Mafia Hukum dan Pajak bentuk presiden. Lembaga yang relatif baru dan sepertinya bersih. Walaupun tak cukup besar wewenang dan kapasitasnya tapi akan membuat sebagian masalah menjadi clear. Harapan presiden dan kita mungkin kira2 seperti itu. Tapi apa kemudian yang terjadi; prestasi Satgas hanya pernah memergoki Artalita Suryani mandi dan karaokean di kamar penjaranya yang full AC. Wuih, pokoknya dingin dan harum. Tidak ada sama sekali bau pesing penjara. Selebihnya, Satgas ini sekarang yang menjadi pokok persoalan karena saling tuding dengan gayus, dianggap merecoki, dianggap ganggu bini orang -yang lagi dipenjara lagi, tidak jelas hasil kerjanya, punya data tapi tidak melaporkannya ke kepolisian, bekerja sendiri dan banyak tahu tentang sepak terjang gayus tapi tidak dipublikasikan ke publik. Pokoknya tambah ribet, tambah kusut, tambah seru adegannya. Stasiun TV -yang sudah tak bisa lagi diharap netralitasnya- masing2 menyorot bagian2 yang menguntungkan kroni2nya. Satgas menjadi pemeran penting sinetron yang akan berepisode sangat panjang dan menjemukan. KIta akan muntah berkali-kali mengikutinya.
Jaksa adalah korps penuntut bagi yang bersalah. Tapi kira2 apa yang terjadi kalo yang akan menuntut orang dan mengajukannya ke meja hijau juga punya andil kesalahan terhadap orang itu? Apakah tidak konyol namanya kalo nanti ternyata tuntutan ini akan menjerat leher kita sendiri? Paling pas, memang lebih baik diam saja, pura2 tidak menemukan cukup bukti, mengulur2, menuntut dengan bukti yang lemah atau kalo terpaksa carikan saja kasus kecil biar jeratannya agak longgar dan sebagian besar dari kita selamat. Kalo toh ada bawahan yang harus terseret itu hal biasa; memang harus selalu ada kambing hitam.
KPK semenjak Antasari Azhar tersandung kasus pembunuhan Nasrudin tidak pernah lagi tampil garang. Dua orang pimpinan KPK yang mencoba terus tampil beringas malah hampir kena perangkap dan baru2 ini kasusnya deponering. KPK melempem dan kasus2 besar dan menggurita pun sangat sulit ditemukan kebenarannya. Maka yang paling lahap menjadikannya makanan empuk adalah para politisi yang tidak akan pernah benar kalo menyangkutpautkan antara urusan hukum dan politik. Karena hukum selalu mencari kebenaran, berpihak pada semua orang, sementara politik hanya mencari kekuasaan dan lebih banyak berpihak pada segelintir orang dan golongannya. Dapat ditebak akhirnya: tarik ulur, gertak sana-sini, tukar guling kasus. Menjijikkan sekali.
Lalu harapan utama kita memang pada akhirnya berpulang ke presiden. Mantan tentara yang ganteng dan pesolek ini tidak disangka2 sangat mumet jalannya pikirannya, berlika-liku dan cenderung peragu, tidak kelihatan tegas dan gentle sama sekali dan entah apa sebabnya. Saya sendiri tidak terlalu menyukai type ini karena masalah yang membutuhkan penanganan cepat akan tambah mbulet ruwet dan gak bakalan selesai-selesai. Jadi pupus harapan kita. Beliau lebih condong ke diplomasi dan politik. Maka selalu riuh setiap langkah2nya; anaknya yang ABG jadi sekjen, ada yang mau calonkan dia lagi jadi presiden satu episode lagi (emangnya negara ini dunia sinetron?), bu ani yang masuk nominasi calon presiden. Cuih... cukup sudah!

No comments: